Dalam sidang tersebut, Prof. Juneman menanggapi pertanyaan Ketua Majelis Komisioner KIP RI, Syawaludin, mengenai dampak keterbukaan data terhadap stabilitas emosi publik. Ia menjelaskan bahwa dari sudut pandang psikologis, keterbukaan informasi dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu itu sendiri. Lebih lanjut, Juneman menegaskan bahwa keterbukaan informasi juga berperan dalam mendukung legitimasi hasil pemilu, yang pada gilirannya menciptakan keberterimaan yang lebih luas di kalangan publik.
Salah satu aspek penting dari keterbukaan informasi adalah perasaan kepemilikan yang dirasakan oleh masyarakat terhadap data tersebut. Hal ini sejalan dengan semangat partisipasi publik dalam proses demokratis. Juneman juga menyoroti manfaat psikologis lainnya, yaitu terciptanya kesejahteraan batin bagi masyarakat. Dengan adanya akses terbuka terhadap data, masyarakat dapat mengurangi rasa ketidakpastian dan tegangan yang mungkin muncul di antara pendukung kubu-kubu politik yang berbeda.
“Keterbukaan data tidak hanya membantu dalam analisis yang lebih baik, tetapi juga mendukung kesehatan mental masyarakat,” ujar Prof. Juneman, menekankan pentingnya akses terbuka terhadap informasi dalam mendukung kesejahteraan jiwa.
Sementara itu, dalam konteks sengketa informasi antara YAKIN dan KPU, terdapat tiga nomor register yang menjadi fokus perdebatan. Permohonan pertama, dengan nomor register 001, meminta informasi mengenai data real count KPU dalam format mentah yang dapat dipublikasikan secara online atau disampaikan langsung kepada pemohon. Register 002 berkaitan dengan permintaan rincian infrastruktur TI KPU selama Pemilu 2024, termasuk detail tentang server fisik, server cloud, lokasi perangkat, serta kerjasama dengan perusahaan teknologi seperti Alibaba. Terakhir, register 003 menyoal informasi terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan data hasil suara pada Pemilu sejak tahun 1999 hingga 2024.
#BinusEmpowerment