Mengurai Simpul Konflik Thailand-Kamboja: Refleksi Peran Indonesia dan ASEAN

Perbatasan adalah garis yang memisahkan, namun seringkali juga menjadi titik temu—sayangnya, terkadang pertemuan itu berujung pada gesekan. Di jantung Asia Tenggara, dinamika konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali memanas, menghadirkan tantangan signifikan terhadap stabilitas kawasan. Di tengah riuhnya isu ini, BINUS University melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PkM) hadir bukan sekadar mengamati, melainkan untuk menggali solusi konkret. Kegiatan ini adalah cerminan misi universitas untuk memberdayakan komunitas melalui pemikiran strategis dan analisis mendalam, memastikan bahwa setiap akademisi tidak hanya berdiam di menara gading, tetapi juga aktif terlibat dalam isu-isu global yang berdampak langsung pada perdamaian regional.

Dalam rangka mencari pemahaman komprehensif mengenai akar permasalahan, dinamika konflik yang berkembang, dan dampaknya terhadap stabilitas kawasan dan ASEAN, sebuah Diskusi Terbatas (Distas) diadakan. Dilaksanakan oleh Dr. Dinna Prapto Raharja, Dosen dari Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora BINUS University, kegiatan ini menjadi ruang dialektika yang krusial. Ia memandang bahwa aksi saling tembak yang disaksikan hanyalah “simptom” dari gesekan berkelanjutan antara kedua pemerintah, diperparah oleh situasi politik internal seperti pembebastugasan Perdana Menteri Thailand dan ketersinggungan Presiden Senat Kamboja. Kondisi ini berujung pada putusnya komunikasi diplomatik dan kemandekan mekanisme seperti Joint Boundary and Demarcation Committee (JBDC).

Diskusi ini berlangsung secara hybrid pada hari Rabu, 30 Juli 2025 dan melibatkan diplomat senior di Jakarta, Thailand, Kamboja, dan negara-negara ASEAN lainnya. Berlokasi di Perpustakaan Nasional, Jakarta, forum ini mengusung semangat kolaborasi. Dr. Dinna bersama dua pembicara lain dari CSIS dan Universitas Hassanuddin berupaya merumuskan rekomendasi tindak lanjut yang konstruktif. Kegiatan ini, yang berbentuk pendampingan/penyuluhan, menargetkan komunitas diplomatik untuk meningkatkan pemahaman perkembangan konflik dan arah solusi yang perlu diperjuangkan. Ini adalah langkah nyata BINUS dalam mengaplikasikan keahlian akademik untuk kebutuhan praktis di lapangan.

Karena konflik ini bukan hanya tentang sebidang tanah, melainkan tentang harga diri militer, ego antarnegara, dan yang paling krusial, kegagapan ASEAN dalam merespons. Dampaknya terasa pada stabilitas regional dan kredibilitas organisasi. Solusi yang diusulkan oleh Dr. Dinna adalah multi-track diplomacy. Dengan melibatkan unsur non-pemerintah (Track-2 dan seterusnya), dialog tidak boleh didominasi oleh pendekatan militer semata, yang justru memperpanjang krisis. Tujuannya adalah meyakinkan semua pihak bahwa solusi militer bukanlah yang terbaik dan bahwa konflik selalu memiliki akar yang lebih dalam daripada sekadar baku tembak.

Kegiatan yang sukses dan berlanjut atas permintaan Kementerian Luar Negeri RI ini tidak hanya menghasilkan webinar sebagai luaran, tetapi juga menancapkan sebuah prinsip: kepakaran akademik harus menjadi solusi nyata bagi masyarakat. Melalui aksi nyata ini, BINUS University mewujudkan komitmennya terhadap SDGs Goal 17: Partnerships for the Goals. Kami percaya, dampak kemanusiaan (human impact) dari sebuah konflik—putusnya komunikasi, ketidakpastian perbatasan—hanya bisa dijembatani melalui diplomasi yang cerdas, inklusif, dan melibatkan semua pihak. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk melihat melampaui batas, dan Dr. Dinna Prapto Raharja telah menunjukkan jalannya.-